Customize Consent Preferences

We use cookies to help you navigate efficiently and perform certain functions. You will find detailed information about all cookies under each consent category below.

The cookies that are categorized as "Necessary" are stored on your browser as they are essential for enabling the basic functionalities of the site. ... 

Always Active

Necessary cookies are required to enable the basic features of this site, such as providing secure log-in or adjusting your consent preferences. These cookies do not store any personally identifiable data.

No cookies to display.

Functional cookies help perform certain functionalities like sharing the content of the website on social media platforms, collecting feedback, and other third-party features.

No cookies to display.

Analytical cookies are used to understand how visitors interact with the website. These cookies help provide information on metrics such as the number of visitors, bounce rate, traffic source, etc.

No cookies to display.

Performance cookies are used to understand and analyze the key performance indexes of the website which helps in delivering a better user experience for the visitors.

No cookies to display.

Advertisement cookies are used to provide visitors with customized advertisements based on the pages you visited previously and to analyze the effectiveness of the ad campaigns.

No cookies to display.

Jejak Sejarah Sinema Indonesia: Dari Film Bisu Hingga Industri Kreatif Kontemporer


Jejak Sejarah Sinema Indonesia: Dari Film Bisu Hingga Industri Kreatif Kontemporer

Sinema Indonesia telah melalui banyak perkembangan sepanjang sejarahnya. Dari film bisu hingga industri kreatif kontemporer, sinema Indonesia telah memberikan kontribusi besar bagi perfilman internasional.

Pada zaman kolonial Belanda, film pertama yang diproduksi di Indonesia adalah “Loetoeng Kasaroeng” pada tahun 1926. Film ini diproduksi oleh Tan Boen Soan dan sutradaranya adalah L. Heuveldorp. Film ini menceritakan tentang kisah legenda dari Jawa Barat. Namun, karena belum ada bioskop yang ada di Indonesia pada saat itu, maka film ini hanya ditayangkan di sebuah panggung teater.

Baru pada tahun 1931, bioskop pertama di Indonesia didirikan di kota Bandung. Kemudian, pada tahun 1940-an hingga awal 1950-an, banyak film Indonesia yang diproduksi secara mandiri oleh para pengusaha bioskop. Film-film ini lebih banyak mengadaptasi cerita rakyat atau puisi klasik.

Pada tahun 1950-an hingga era 1960-an, muncul sutradara-sutradara film seperti Usmar Ismail dan Djamaluddin Malik yang memproduksi film-film yang lebih berani dalam mengangkat isu-isu sosial dan politik. Film bergenre drama sosial seperti “Darah dan Doa” atau “Tiga Dara” menjadi populer. Di era ini, munculnya aktor-aktor seperti Sophan Sophiaan, W.D. Mochtar, dan tetangga sebelah komedian Bing Slamet juga melahirkan banyak film komedi khas Indonesia.

Di tahun 1970-an, muncul para sutradara seperti Garin Nugroho dan Riri Riza yang memulai bentuk sinema baru yang lebih modern dan eksperimental. Film yang dihasilkan memiliki tema yang lebih kompleks. Salah satu film remaja Indonesia yang fenomenal pada era ini adalah “Cinta Pertama” karya sutradara Nayato Fio Nuala.

Lalu pada tahun 1980-an, film-film Indonesia lebih banyak didominasi oleh film aksi, horor, dan komedi. Film-film yang populer di masa ini antara lain “Pengabdi Setan”, “Realita, Cinta dan Rock ‘n Roll”, dan “Warkop DKI”.

Di era 1990-an, industri film Indonesia menghadapi tekanan dari film Barat dan Asia. Sinema Indonesia juga mengalami krisis karena kendala keuangan dan kekurangan bakat dan pengusaha. Pada masa ini, produser film kondang Indonesia, Mira Lesmana dan Riri Riza melahirkan film indie yang berkualitas seperti “Eliana, Eliana”, “Ada Apa Dengan Cinta”, dan “Petualangan Sherina”.

Di tahun 2000-an, generasi baru sineas Indonesia kembali bangkit dan melahirkan film-film yang berbicara tentang isu-isu sosial dan politik. “The Raid” dari sutradara Gareth Evans menjadi film Indonesia yang mendunia. Film lainnya seperti “Sang Penari” dan “Kapan Kawin?” memberikan kontribusi bagi sinema Indonesia di ajang penghargaan internasional.

Sekarang, pada era industri kreatif kontemporer, cineaste Indonesia dapat mandiri dalam produksi dan pengolahan film. Mereka bisa mencapai pemirsa seluruh dunia melalui platform digital. Beberapa platform seperti HOOQ, Netflix, dan Viu menampilkan film Indonesia ke seluruh dunia.

Dari kisah di atas dapat kita lihat, sinema Indonesia telah melalui banyak fase sepanjang perjalanan sejarahnya. Sinema Indonesia tidak hanya memberikan hiburan, tetapi juga mengangkat isu-isu sosial dan politik. Semoga sinema Indonesia dapat terus berkembang dan memberikan kontribusi di kancah perfilman internasional.